Kamis, 29 Desember 2011

Filsafat Pendidikan Materialisme


Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia, terdiri dari kata philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau penetahuan. Jadi, philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan.
            Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja fillsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran itu sendiri. Di bawah ini kita akan membahas lebih dalam tentang aliran filsafat materialisme.

A.     Sejarah Lahirnya Aliran Filsafat Materialisme
            Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme”. Demokritos besrta para pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang disebut atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu bergerak, seehingga dengan demikian membentuk realitas pada pancaindera kita.
            Ludwig Feuerbach (1804-1872) mencanangkan suatu meta-fisika materialistis, suatu etika yang humanistis, dan suatu epistemology yang menjungjung tinggi pengenalan inderawi. Oleh karena itu, ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan materialisme. Jadi, menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual. Kepercayaan terhadap Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidakpuasan manusia mencapai cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud di luar yang dikhayalkan memiliki kesempurnaan, yang merupakan sumber kebahagiaan manusia, suatu wujud yang bahagia secara absolute. Oleh karena iu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia itu sendiri, secara maya, padahal wujudnya tidak ada.
            Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan sebagai landasan berpikir adalah “Positivisme”. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya. Aguste Comte sebagai pelopor positivisme berpandangan bahwa “The highest form of knowledge is simple description presumably of sensory phenomena”(Runes, 1963:234). Comte membatasi pengetahuan pada bidang gejala-gejala sala (fenomena). Menurut Comte, terdapat tiga perkembangan berpkir yang dialami manusia, yaitu:
1.      Tingkatkan teologis (pola berpikir manusia dikuasai oleh tahayul dan prasangka)
2.      Tingkatkan metafisik (pola berpikir abstrak)
3.      Tingkatkan positif (pola berpikir yang mendasarkan pada sains)
            Zaman positif (Harun Hadiwijono, 1980) adalah zaman dimana orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologi maupun metafisik. Ia tidak lagi melacak awal dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta tapi berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya.
            Jadi, dikatakan positivisme, Karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah berdasarkan fakta-fakt, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif.
            Thomas Hobbes sebagai pengikut empirisme materialistis berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberi kepastian. Pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan (Harun Hadiwijono, 1980).
            Tokoh-tokoh filsafat materialisme adalah:
1.      Anaximenes (585-528 SM)
2.      Anaximandros (610-545 SM)
3.      Thales (625-545 SM)
4.      Demokritos (460-360 SM)
5.      Thomas Hobbes (1588-1679)
6.      Lamettrie (1709-1715)
7.      Feuerbach (1804-1872)
8.      H. Spencer (1820-1903)
9.      Karl Marx (1818-1883)

B.     Konsep Dasar Filsafat Materialisme
            Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supranatural.
            Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau pikiran timbul setelah melihat materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Contoh: karena meja atau kursi secara objektif ada, maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang berbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.
1.      Ciri-ciri filsafat materialisme
  1. Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi
  2. Tidak meyakini adanya alam ghaib
  3. Menjadikan panca-indera sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu
  4. Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum
  5. Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq
2.      Variasi aliran filsafat materialisme
Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme metafisik.
  1. Filsafat Materialisme Dialektika
Materialisme dialektika adalah materialisme yang memandang segala sesuatu selalu berkembang sesuai dengan hukum-hukum dialektika: hukum saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif didalam dunia semesta. Pikiran-pikiran materialisme dialekti inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
  1. Filsafat Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Pikiran-pikiran materialisme metafisik ini misalnya: “sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.

C.     Implikasi Aliran Filsafat Materialisme untuk Pendidikan
            Menurut Power (1982), implikasi aliran filsafat pendidikan materialisme, sebagai berikut:
1.      Temanya yaitu manusia yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2.      Tujuan pendidikan merupakan perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3.      Isi kurikulum pendidikan yang mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4.      Metode, semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), operant condisioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetisi.
5.      Kedudukan siswa tidak ada kebebasan, perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar, pelajaran sudah dirancang, siswa dipersiapkan untuk hidup, mereka dituntut untuk belajar.
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan, guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar